Metrotvnews.com, Lamongan: Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai jasa para pahlawan. Begitulah kata Bung Karno, bapak
proklamator sekaligus presiden pertama RI. Namun, apa yang telah terjadi
kini. Bahkan, pada Hari Pahlawan yang jatuh pada Sabtu (10/11) 2007.
Setelah 62 tahun Indonesia merdeka, tak sedikit para vetaran perang
kemerdekaan yang hidup menderita.
Sebut saja Silam. Lelaki tua yang tinggal di Desa Pelang, Kecamatan
Kembangbahu, Lamongan Jawa Timur, menjadi tukang sapu di gereja dan
Balai Desa Pelang. Untuk itu, ia mendapatkan upah sebesar Rp 20 ribu
hingga Rp 30 ribu per bulan. Tak banyak memang. Namun, bisa untuk
tambahan uang pensiunnya sebesar Rp 600 ribu per bulan.
Meski demikian, Silam cukup bangga dengan apa yang dilakukannya. Pada
usianya yang menjelang satu abad, ia tetap tidak membebani orang lain.
Silam hanyalah satu potret para veteran yang tidak mengharapkan
penghargaan untuk perjuangan mereka meski di masa lalu telah
mempertaruhkan nyawa untuk kemerdekaan.
Liputan6.com, Jambi: Bangsa besar adalah bangsa yang menghormati
pahlawannya. Mungkin pemeo ini kurang melekat di negeri ini. Parahnya
lagi para pejuang yang telah berkorban dengan keringat dan darah seolah
terlupakan. Kehidupan ratusan veteran perang di sejumlah daerah sungguh
memprihatinkan.
Kopral Gunawan mungkin dapat menjadi contoh potret buram itu. Di tengah
kemeriahan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan ke-62 Republik
Indonesia bekas pejuang ini terlupakan. Kini di usia 80 tahun, Gunawan
harus bekerja sebagai sopir alat berat di Jambi.
Sewaktu muda dia berjuang di kesatuan kompi Merdeka Resimen Sumatera era
1948. Gunawan menjadi teknisi berbagai alat perang untuk mengusir
penjajah Belanda yang membonceng NICA (Netherland Indie Civil
Administration) dari daratan Sumatra bagian Tengah.
Meski sejumlah dokumen menyatakan pejuang, Gunawan tetap tak dapat
mencicipi dana pensiun veteran. Dilupakan negara tidak menyurutkan
hidupnya. Gunawan juga tak mau berpangku tangan. Dia bertekad terus
berjuang seumur hidup untuk membangun negeri ini.
Liputan6.com, Solo: Nasib para pejuang kemerdekaan ternyata tak selalu
memperoleh penghargaan dan penghidupan yang layak. Seperti yang dialami
Samsuri. Veteran kemerdekaan yang sudah berusia 91 tahun ini terpaksa
harus mengetuk pintu-pintu kantor untuk menyambung hidup.
Meski sudah tua, langkah Samsuri terlihat masih tegap. Sikap dan
atributnya masih sama seperti saat dia aktif sebagai pejuang di front
Ambarawa, Jawa Tengah. Namun, dia kini tak lagi memanggul senjata. Pria
tua ini kemana-mana membawa sejumlah barang dagangan, seperti permen
jahe dan jamu-jamuan. Dia terpaksa mengumpulkan rupiah demi rupiah
karena tunjangan pensiunnya tak seberapa."Belum lagi dipotong untuk
bank," kata Samsuri.
Namun, Samsuri masih memiliki patriotisme. Dengan caranya sendiri dia
mengingatkan arti perjuangan kemerdekaan 62 tahun silam. Inilah jalan
hidup Samsuri setelah melawan penjajah. Kini dia harus melawan kebutuhan
perut dan usia yang terus merayap secara pasti.
Sementara itu, sekelompok warga Jakarta yang ingin menyelami lagi
kegiatan para pejuang melakukan acara napak tilas. Kegiatan dimulai
dengan perjalanan mobil buick. Mobil keluaran tahun 1939 itu pernah
menjadi mobil Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Karena itu
penumpangnya pun berdandan ala Bung Karno dan Bung Hatta.
Peserta lain, termasuk para veteran dan pelajar bergaya seperti pejuang
kemerdekaan. Dengan mengendarai sepeda ontel mereka menyusuri Jalan
Menteng Raya menuju Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Bagi para veteran,
napak tilas menjadi momentum untuk meningkatkan semangat nasionalis para
generasi muda. Apabila para pejuang dahulu tidak meraih kemerdekaan
tentu kini generasi muda harus berjuang mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatan Idonesia.
Liputan6.com, Makassar: Hidup adalah perjuangan. Setidaknya inilah yang
dirasakan Andi Djemma, seorang veteran perang kemerdekaan RI. Pada masa
penjajahan, Andi dan rekan-rekannya bertaruh nyawa merebut kemerdekaan.
Kini setelah 61 tahun sejak Soekarno membacakan teks proklamasi, Andi
tetap harus berjuang melawan kemiskinan dan penggusuran. "Tidak dihargai
veteran!" kata Andi di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (17/8).
Andi adalah Wakil Ketua Legiun Veteran Cabang Kota Makassar. Dua tahun
silam, Andi dan rekan-rekannya sesama veteran harus digusur dari
rumahnya yang ditempati sejak 1947. Setelah rumah mereka dibongkar, kini
Andi Jemma bersama sekitar 20 anggota veteran lainnya terpaksa tinggal
di tanah wakaf Pemerintah Kota Makassar. Di atas tanah bekas rawa itulah
Andi dan rekan-rekannya menghabiskan masa tua. "Saya tidak cerita yang
tidak benar, saya dosa [jika bohong]," kata Andi yang masih lantang
walau giginya tinggal beberapa.
Di balik balutan kulitnya yang telah keriput, patriotisme Andi masih
berkobar. Mengenakan baju beserta atribut veteran, Andi merayakan
Agustusan bersama warga lain. Rumahnya yang terbuat dari seng pun tak
ketinggalan dengan hiasan bendera Merah Putih.
Andi boleh jadi cuma salah satu sempalan warga Indonesia yang masih
terjajah kemiskinan. Masih banyak warga lain yang kurang beruntung
seperti dia. Bahkan di Jakarta yang notabene pusat pemerintahan,
kemerdekaan tak bisa dinikmati seratus persen oleh warga Ibu Kota. Ini
dialami Maryati dan Suwarna. Bersama orang tua tak mampu lainnya, mereka
hanya sanggup "menyekolahkan" anaknya di Kelompok Belajar Sekar Bangsa
di Kampung Marlina, Muara Baru, Jakarta Utara.
Jeratan persoalan ekonomi juga membuat Suwarna tak sanggup menyekolahkan
anak bungsunya. Seorang anaknya yang sudah lulus sekolah menengah atas
juga tak bisa bekerja karena ijazahnya belum diambil.
Merdeka dari belenggu ekonomi pula yang diinginkan Daeng Soreh. Pencari
rajungan ini tak satu pun dari tujuh anaknya yang lulus sekolah.
Nasib Maemunah kurang lebih sama. Tiap Agustus, dia hanya bisa mengenang
rumahnya di Jembatan Besi, Jakarta Utara. Rumah yang dia beli Rp 5 juta
itu digusur untuk proyek pembangunan pusat perbelanjaan. Kini, dia
melanjutkan hidup dengan mengontrak rumah.
Liputan6.com, Jakarta: Perayaan Hari Ulang Tahun ke-61 RI menjadi hari
yang ditunggu khususnya bagi sejumlah veteran perang. Di hari itu mereka
rutin menerima santunan dari dermawan. Seorang di antara mereka adalah
Syarifudin. Dengan sebelah kaki akibat terkena pecahan mortir saat
agresi Belanda, Syarifudin bersusah payah mendatangi acara yang digelar
untuk veteran itu di Jakarta, baru-baru ini.
Tak sia-sia, veteran perang berusia 77 tahun itu mendapat sebuah
bingkisan berisi mi instan, beras, dan minyak goreng. Ketika hendak
pulang, SCTV menawarkan tumpangan bagi Syarifudin untuk diantarkan ke
rumahnya di kawasan Cakung, Jakarta Timur.
Sesampainya di rumah, dengan suka cita bingkisan itu diberikan kepada
istri tercinta. Bantuan itu terasa sangat berharga mengingat sebagai
veteran, Syarifudin cuma mendapat tunjangan Rp 20 ribu per bulan. Jumlah
ini tidak cukup, bahkan untuk menutup sewa kontrakan sekali pun.
Syarifudin hanyalah seorang dari ribuan veteran yang menjadi bagian masa
silam. Hingga kini dia tak pernah mengecap hidup cukup layak. "Kalo
cacatnya berat, [mendapat] sejuta," ujar Syarifudin.
Kondisi lebih baik dialami Palewangi. Mantan anggota Laskar Kebangkitan
Rakyat Indonesia Sulawesi ini sebulan mendapat Rp 500 ribu. Tapi ia
masih harus mencari tambahan dengan cara menggarap ladangnya
Liputan6.com, Jombang: Kemerdekaan bangsa Indonesia yang genap 60 tahun
ternyata belum dirasakan sepenuhnya oleh Mardan, 77 tahun, veteran
perang di Jombang, Jawa Timur. Kesulitan ekonomi terus menderanya karena
uang pensiun tidak juga didapat. Untuk menyambung hidup, Mardan sempat
menjadi pengayuh becak. Kini di usia tuanya, Mardan menghidupi
keluarganya dengan membuat kerajinan seni dari bahan bambu
Baru-baru ini, SCTV berkunjung ke rumah Mardan. Tidak terlalu sulit
mencari rumah veteran yang menjadi saksi mata perobekan bendera Belanda
di Hotel Oranye Surabaya ini. Ia tinggal di Desa Mancilan, Kecamatan
Mojoagung. Di rumah berdinding bambu yang sudah lapuk, Mardan tinggal
bersama istrinya, Sutami.
Untuk menyambung hidup, Mardan sempat menjadi pengayuh becak selama 30
tahun. Profesi ini digeluti hingga 1988. Saat fisiknya tidak kuat lagi,
becak ditinggalkan. Sebenarnya, bisa saja Mardan menggantungkan hidup
kepada anak-anaknya. Namun, Mardan lebih memilih membiayai dirinya dan
istri dengan melukis, membuat kuda lumping dan kerajinan lain.
Hasil yang didapat tentu saja tidak seberapa. Lukisan yang dibuatnya
hanya dapat dijual seharga Rp 25 ribu per buah. Untuk menambah
penghasilan, Mardan juga membuat kipas anyaman meski tidak terlalu laku
dijual.
Sepertinya, perjuangan tidak pernah berakhir untuk Mardan. Tetapi
anggota Laskar Perjuangan Indonesia ini bukan berjuang untuk kemerdekaan
sebuah negeri bernama Indonesia melainkan berjuang untuk mendapatkan
haknya. Hak mendapatkan pensiun, sebagai bentuk penghargaan pemerintah
dan negara untuk pejuang yang pernah menggadaikan nyawanya untuk sebuah
kemerdekaan. Ironis, permohonan uang pensiun yang diajukan sejak 1993
hingga kini belum juga dikabulkan. "Katanya tinggal SK (surat
keputusan). Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda," tutur Mardan.
Jakarta - Veteran pejuang kemerdekaan Indonesia meminta perhatian dari
pemerintah mengenai tunjangan veteran (tuvet) yang mereka terima.
Tunjangan yang mereka dapatkan selama ini bahkan jumlahnya lebih kecil
dari upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta. "Guru SD saja Rp 1,7 juta
(tunjangannya-red). Veteran pejuang kemerdekaan hanya dikasih Rp 600
ribu. Padahal UMP saja sudah Rp 820 ribu.
Ini kan melecahkan," keluh mantan pejuang Trikora dan Dwikora, Wimo
Sumanto, di Tugu Proklamasi, Jl Proklamasi, Jakarta Pusat, Minggu
(17/8/2008). Wimo hadir di Tugu Proklamasi beserta puluhan veteran
lainnya untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-63. Wino
datang mengenakan pakaian dinas warna hijau lengkap dengan lencana serta
penghargaan yang pernah diterimanya selama bertugas.
Menurut pria yang telah berumur 79 tahun ini, mereka menyayangkan
apresiasi dari pemerintah yang tidak sepadan dengan perjuangan yang
telah diberikan untuk bangsa ini. Lebih lanjut Wino menjelaskan kalau
kejadian seperti ini selayaknya tidak terjadi lagi di era kemerdekaan.
"Kemerdekaan itu benang emas. Harusnya untuk menuju rakyat dan bangsa
Indonesia punya hidup yang lebih baik," tegasnya. Wino kemudian
menimpakan kesalahan kondisi ini terhadap para koruptor yang dinilainya
semakin merajalela. "Koruptor-koruptor merajalela dan merusak ekonomi
rakyat. Kehidupan rakyat itu dalam keadaaan yang prihatin sekali.
Sengsara akibat ratusan triliun dikorupsi," pungkasnya.
SUDAH 63 tahun Indonesia merdeka yang diperoleh dengan penuh pengorbanan
harta, darah dan air mata, bahkan nyawa pun dikorbankan para pejuang.
Tetapi sangat disesalkan nasib para veteran di Kabupaten Padanglawas
semakin dipinggirkan.
Demikian ungkap sejumlah anggota veteran di Kecamatan Barumun, Kabupaten
Padanglawas kepada Waspada, Senin (18/8) usai menghadiri Upacara
peringatan HUT ke-63 kemerdekaan RI di Lapangan MTs N Sibuhuan.
H. Paet Lubis, 83, anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI)
Ranting Barumun mengatakan, sedih melihat nasib para veteran pejuang
kemerdekaan saat ini yang semakin dipinggirkan dan diabaikan.
Sebagai pejuang yang ikut menaikkan Merah Putih di Sibuhuan, dan sebagai
Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) serta aktif sebagai militer Republik
Indonesia sejak pendudukan Jepang 1942 ini mengatakan, dari tahun ke
tahun perhatian dan penghargaan pemerintah kepada pejuang/ veteran
semakin menipis.
"Saya benar-benar sedih melihat nasib pejuang dan veteran saat ini.
Dalam sisa hidupnya semakin memprihatinkan, lebih sedih lagi melihat
pemimpin-pemimpin bangsa yang hidup dan menikmati kemerdekaan ini di
atas tengkorak-tengkorak para pejuang yang telah mengorbannya nyawanya
untuk mencapai kemerdekaan," katanya.
Seiring dengan dilaksanakannya Pilkada Padanglawas Oktober nanti,
diharapkan muncul pemimpin yang benar-benar punya perhatian terhadap
orang tua dan veteran Padanglawas.
Hal senada juga disampaikan Abdullah Sani Nasution, 81, Ketua Ranting
LVRI Sibuhuan, Kecamatan Barumun. Sejak beberapa tahun belakangan
perhatian dan penghargaan pemerintah terhadap para pejuang kemerdekaan
semakin tipis.
"Kita menghargai mantan Camat Barumun, Basyrah Lubis, SH yang semasa
kepemimpinannya memperhatikan nasib para Veteran. Setiap tahun usai
upacara selalu menjamu para veteran, sekaligus memberi penghargaan,"
katanya.
Dikatakan, saat ini di Kecamatan Barumun, hanya 13 lagi veteran yang
masih hidup, itupun sudah tua renta dan sakit-sakitan. Kini hanya lima
orang yang ikut menghadiri peringatan HUT ke-63 RI, termasuk Abdullah
Sani, 81, H. Paet Lubis, 83, Muhammad Nuh Hasibuan, 82, Palit Harahap,
78 dan Usman Silalahi, 81.
Sementara yang tidak ikut menghadiri upacara Yahya Harahap, 81, Herman
Hasibuan, 80, Marsidin, 80, H. Nukman, 80, H. Baharuddin, 80, H.
Mukhtar, 78, Sitiroin, 80 dan Hj. Siti Hawa, 83.
Veteran pejuang kemerdekaan ini berharap akan muncul pemimpin
Padanglawas yang mempunyai hati nurani dan menghargai pejuang
kemerdekaan.
H. Syahwil Nasution, anggota DPRD Kabupaten Palas, melihat para veteran
teringat almarhum orang tuanya yang juga veteran. Ia juga berharap ke
depan pemerintah dan pemimpin-pemimpin bangsa ini akan lebih
memperhatian nasib para veteran yang telah banyak berjasa dalam
memperjuangkan negeri ini dari belenggu penjajah.